Lukisan Prabu Siliwangi, Raja Sunda Padjajaran yang dipasang di Keraton Kasepuhan Cirebon Jawa Barat. Foto: Wikipedia.
Berbicara kerajaan sunda tidak bisa terlepas dari nama tokoh yang satu ini, Prabu Siliwangi. Seorang raja yang pernah membawa Kerajaan Padjajaran mencapai puncak kejayaannya. Di bawah kepemimpinan Sang Prabu, Padjajaran pernah menjadi kerajaan Hindu-Budha terbesar di bagian barat Pulau Jawa.
Kisah ini bermula saat Prabu Siliwangi mempersunting seorang gadis muslimah bernama Nyai Subang Larang. Ia adalah seorang putri dari Ki Gedheng Tapa, penguasa tanah dan syahbandar pelabuhan Muara Jati yang saat itu tinggal di daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh.
Sementara, Nyai Subang Larang merupakan murid dari Syekh Hasanuddin Pondok Quro Pura Dalem Karawang. Sebelum memperistri Subang Larang, Prabu Siliwangi diberi dua syarat. Pertama, Nyai Subang Larang harus menjadi permaisuri ketika nanti Sang Prabu menduduki tahta kerajaan. Kedua, agar ia diizinkan tetap menganut agama Islam, karena Subang Larang adalah penganut Islam yang taat serta murid kesayangan Syekh Hasanuddin.
Sang Prabu, yang juga punya nama lain Pangeran Jaya Dewata, pun menyanggupi dua persyaratan tersebut. Sebagaimana dikutip dari buku “Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja”, ditulis Eman Suryaman, janji itu dibuktikan oleh Prabu Siliwangi setelah ia bertahta.
Meninggalkan istana, mencari Islam
Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang, lahirlah tiga orang anak: Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara (Kiansantang).
Ketiga anak tersebut dibesarkan di dalam kemewahan istana dan dua agama berbeda yang saling berdampingan, Hindu dan Islam. Konon, meski Islam telah diperkenalkan di Kerajaan Padjajaran, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut Hindu yang taat.
Dalam catatan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari memang tidak dijelaskan, apa agama yang dianut oleh ketiga anak Prabu Siliwangi selama tinggal di istana. Tapi setelah kematian sang ibu, Prabu Walangsungsang yang sudah diangkat sebagai putra mahkota memutuskan pergi dari istana.
Ia pergi untuk sebuah pengembaraan mencari dan mendalami ajaran agama Islam. Kepergiannya sempat membuat geger seisi negeri. Betapa tidak, seorang putra mahkota penerus tahta kerajaan pergi begitu saja.
Nyai Rara Santang yang sangat dekat sang kakak pun merasa sangat kehilangan. Tidak lama kemudian ia menyusul, memutuskan pergi mencari Prabu Walasungsang. Kemewahan dan kenyamanan tinggal di istana yang selama ini ia dapat, dilepaskannya.
Singkat cerita, kedua kakak beradik ini kemudian dipertemukan di sebuah tempat, yang menurut catatan sejarah, terletak di sekitar Ciamis.
Walasungsang dan Rara Santang kemudian tinggal di rumah seorang pendeta Budha bernama Ki Gedheng Danuwarsih untuk waktu yang cukup lama. Walangsungsang jatuh hati pada putri pendeta itu yang bernama Nyai Indah Geulis dan lalu menikahinya.
Setelah menikah, Wangsungsang beserta istrinya, dan juga adiknya Rara Santang, melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon. Di sana mereka disambut oleh penguasa setempat, yakni Ki Gedheng Tapa, yang tak lain adalah kakek mereka sendiri. Amparan Jati saat itu sudah menjadi wilayah persebaran Islam pertama di tatar Sunda.
Di Cirebon, mereka diperkenalkan kepada Syekh Datuk Kahfi, penyebar Islam di tatar Sunda dan menjadi muridnya. Syekh kemudian memberikan Walasungsang gelar Ki Somadullah dan Nyai Rara Santang gelar Syarifah Mudaim. Keduanya diberi tugas membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan ajaran agama Islam. Menurut catatan, sekarang daerah itu dinamai Lemah Wungkuk, Cirebon.
Usai tugas tersebut, Ki Somadullah dan Syarifah Mudaim disarankan oleh Syekh Datuk Kahfi pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji. Di sana mereka menetap di rumah Syekh Bayanullah, adik Syekh Datuk Kahfi.
Saat perjalanan suci ke tanah Arab itulah Syarifah Mudaim menemukan pria tambatan hati dan menjadikannya sebagai suaminya. Pria itu bernama Molana Huda, seorang sultan Mesir yang menguasai jazirah Arab. Dikisahkan, Syarifah Mudaim bertemu Molana Huda saat mereka berkunjung ke Baitul Maqdis, Yarussalem.
Pada saat akan dinikahi sang sultan, Syarifah Mudaim meminta satu persyaratan. Bahwa jika dari pernikahannya menurunkan anak lelaki, ia akan menjadi penyebar agama Islam di tatar Sunda.
Setelah menikah, Syarifah Mudaim ikut suaminya tinggal di Mesir, sementara Ki Somadullah kembali ke Amparan Jati. Kelak, sebagaimana diketahui, dari pernikahan itu Syarifah Mudaim dikaruniai dua orang putra: Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah.
Sesuai perjanjian, setelah menginjak usia dewasa Syarif Hidayatullah diutus ke tatar Sunda untuk menyebarkan Islam. Ia kemudian dikenal sebagai ulama besar bergelar Sunan Gunung Jati, wali penyebar agama Islam tersohor di jawa barat.
sumber : Kalam Nahdliyin.blogspot
Comments
Post a Comment